Skip to main content

Krisis

Hari lainnya di mana gua duduk di atas kasur, nunduk ngeliat mama main Zuma Deluxe, nungguin giliran make notebook. Mata gua mulai nerawang, pikiran gua mulai ke mana-mana, cuma karena gua ngelamun ngeliat kodok jelek muntahin bola empat warna ke segala arah. Gua mulai mikir… gua nggak tau apa yang gua pikirin. Film Chronicle yang baru selesai gua tonton beberapa menit lalu, gimana seandainya hidup berjalan sesuai yang gua pengen, gimana nanti jadinya film Ariiq, segala macam tetek bengek nggak penting ngelewatin pikiran gua begitu aja seolah-olah gua lagi duduk di kelas Filosofi.

Gua udah bukan anak kecil lagi. Sekitar tiga bulanan lagi umur gua 17. Gua benci. Hal paling nggak enak dari menjadi seorang remaja adalah kemampuan baru buat ngeliat dunia dari sudut pandang beda. Kali ini gua mulai ngerti apa yang terjadi di sekitar gua. Dan dengan seluruh pengetahuan dan sudut pandang baru ini bikin gua mempertanyakan begitu banyak hal yang gua nggak bener-bener pahamin.

Banyak… secara harfiah banyak pertanyaan yang mondar-mandir di benak gua. Sebagai contoh utama, gua serius pernah bertanya-tanya alasan gua ada di sini. Oke, itu bener-bener bikin cringe, tapi serius, gua pernah mikir kayak gitu. Dari sudut pandang agama makna dari kehidupan adalah beribadah. Tapi kalo sudut pandang yang satu itu kita singkirin dulu, gua nggak tau alasan gua di sini apa. Semuanya jadi… pointless. Maka dari itu, walaupun gua tau ini jelek, gua nyoba nikmatin setiap detik yang gua punya. Dan dalam ‘nikmatin tiap detik’ maksud gua adalah bener-bener hidup di kehidupan sekarang. Live life, you know. Nggak peduli masa lalu, masa depan. Yang sekarang itu sekarang. Entah kenapa gua mikir, orang belajar buat dapet sekolah bagus, orang dapet sekolah bagus buat dapet kerjaan bagus, orang dapet kerjaan bagus buat dapet duit, orang dapet duit buat bikin asuransi kematiannya. Pada akhirnya orang-orang kayak gitu nggak pernah bener-bener ngerasain kehidupan. Dan gua nggak mau jadi salah satu dari mereka. Mungkin itu alasannya gua bener-bener males. Karena gua nggak peduli, karena gua pengen nikmatin setiap momen yang gua alamin.

Tapi lama kelamaan gua mikir lagi, suka atau nggak, gua hampir 17 sekarang. Dan ada hal lain yang disebut ‘tanggung jawab.’ Semakin gua tua, hal itu semakin membesar. Gua nggak hidup sendiri. Gua punya orang lain di sekitar gua. Gua nggak bisa selalu jadi egois. Siapa yang ngasih makan anak gua nanti kalo gua nggak dapet kerjaan bagus karena nggak dapet sekolah bagus karena nggak belajar? Kayak yang gua bilang, suka atau nggak dua kata ‘tanggung jawab’ bakalan terus tumbuh semakin gua bertambah dewasa. Jadi apa yang harus gua lakukan?

Mungkin yang sekarang gua coba lakukan adalah melakukan kedua hal tadi dengan bersamaan, menikmati hidup dan bertanggung jawab. Gua nggak tau apa gua bisa ngelakuinnya, tapi gua bakalan mencoba. Gua bakalan berusaha.

Lalu pikiran gua melayang lagi, beberapa hari yang lalu gua dapet obrolan panjang sama temen kelas gua. Obrolan yang menurut gua salah satu obrolan terdalem yang pernah gua alamin.

“Gua takut,” waktu itu gua bilang. Takut yang gua alamin bukan takut gemeteran karena ngeliat pocong cuma beberapa senti dari depan idung gua. Percaya atau nggak, gua pernah bertanya-tanya tentang keeksistensian Tuhan. Dan itu yang gua takutin. Pikiran sekelemit, sesedikit apapun itu lewat di benak gua, mungkin bisa jadi pemicu buat gua terperosok ke jalan yang nggak bener. Di jaman sekarang… semuanya kayak bisa… dijelasin, tau nggak? Semuanya kayak punya alesan buat seperti itu. Ah, kalo gua ngomong secara langsung gua yakin gua lagi terbata sekarang. Gua cuma susah ngejelasinnya. Terus juga, apapun, kayaknya kalo nggak diliat dua mata kepala sendiri itu belom bisa dipercaya. Gua butuh bukti yang konkrit. Dan obrolan gua dengan temen gua itu bener-bener ngebantu gua. Gua nggak enak ngomong ini ke orang lain, kayak orangtua gua, atau guru BP, karena kemungkinan besar mereka malah ngasih judgement seenaknya. Jadi gua bisa bilang gua cukup beruntung punya lawan bicara yang netral dan bisa balikin mindset gua ke arah yang benar.

Mama bilang gua bisa cerita apa aja, karena katanya umur-umur gua adalah umur di mana gua bakalan banyak punya pertanyaan dan bakalan banyak “realizing.” Dia bener. Dan itu adalah salah satu alasan utama kenapa jadi remaja itu sucks. Karena kita belum sepenuhnya ngerti tentang dunia ini. Tentang semua ini. Karena kita pada dasarnya adalah seseorang yang terperosok ke mulut gua yang dalam tanpa pelita. Yang bisa kita lakukan cuma meraba-raba dinding mencari cahya matahari, mencari jalan keluar. Dan kita mungkin bisa ngedapetinnya, kita mungkin bisa gagal.

Dan akhirnya mama selesai main Zuma Deluxe.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Review: Goeboek Bamboe

Goeboek Bambu is a nice place, one that I would visit again, and one that I would recommend to my friends. I had luch there with my family last Saturday and I can say that I had a pretty good time. It is located in Jl. Mampang Sawangan No. 12A, and its phone number is (021)77219230. First of all, the price is quite reasonable. There is no such thing as Rp.12.000,- mineral water or Rp.6000,- rice. Furthermore, my parents classified it as "average", and as a college student who is still pretty much living off of his parents, I would say so, too. Second, the food here is quite tasty. Speaking of which, here are some that we ordered: Ayam Mentega Cah Kangkung Ayam Bakar Udang Tepung Nasi Goreng Seafood By the way, eventhough each member of my family picked just one food and one drink, I still got to taste all of them since I told them it was for homework. I chose ayam mentega and avocado juice myself. They are pretty good. The chicken is nice and the avocado has the perfect densi

Daftar Penerbit yang Menerima Naskah Melalui E-Mail

Bagi para penulis muda, salah satu proses krusial supaya tulisan kita bisa diterbitin dan kita berkemungkinan jadi kaya raya bergelimpangan harta adalah mengirimkan naskah ke penerbit. Sayangnya, cuma sedikit penerbit yang mau nerima naskah lewat surel. Hal ini karena para editor lebih mudah nyortir dan baca naskah kita dalam bentuk padat. Bagi kalian yang ngerasa repot harus beli tinta, nge- print-out  naskah ratusan halaman, ngejilid, masukin ke amplop, terus kirim lewat kantor pos, belum lagi ngorbanin pohon-pohon buat dijadiin kertas (ea) ini beberapa penerbit yang bersedia nerima naskah lewat e-mail; Bentang Pustaka Bentang lumayan terkenal nih, penerbit ini kalo nggak salah nerbitin bukunya Dan Brown kayak Da Vinci Code sama Angels and Demons. Kalo salah, mohon maaf, ye. Mereka juga nerima naskah lewat surel. Ada dua kategori, Bentang Pustaka buat naskah umum/dewasa, dan Bentang Belia buat naskah anak/remaja. Ketentuan-ketentuannya bisa dibaca di sini; http://pustakabentang.blogs

Tipe Anak SMA

Oke, jadi tadi malem gua baru aja nonton sebuah film berdurasi 97 menit karya John Hughes yang dibintangi Judd Nelson sama Molly Ringwald. Singkatnya film itu nyeritain gimana lima orang remaja bertolak belakang ngumpul di suatu Sabtu di perpustakaan karena mereka harus dihukum. Guru mereka nyuruh mereka nulis essay masing-masing tentang pendapat mereka tentang diri mereka sendiri. Sepanjang film itu, kita cuma ditontonin kelima remaja ini ngomong dan berinteraksi. Setiap orang mewakili setiap stereotipe dari grup mereka. Ada seorang cewek populer, anak pinter, anak kriminal, anak atlit, dan anak yang pendiem. the criminal, the athlete, the brain, the basket case, the princess, the brain; which one are you? Dan gua bisa bilang, setelah ada Apa Dengan Cinta?, The Breakfast Club mungkin salah satu film remaja terbaik yang gua tonton. Meskipun gua gak tinggal di Amerika, film ini dengan akuratnya memotret kehidupan remaja dan berbagai macam geng dan klub sosial tanpa komitmen yang berlang